Rumah Panggung Modern “Solusi Banjir dan cadangan air tanah”

Di banyak daerah di Tanah Air, rumah-rumah tua umumnya terbuat dari kayu dan arsitekturnya mencerminkan keunikan serta kearifan budaya lokal. Walaupun bencana datang silih berganti dalam hitungan tahun, puluhan tahun, bahkan ratusan tahun, rumah-rumah tua tersebut tetap kukuh berdiri. Rumah gadang yang berarsitektur Bagonjong di Sumatera Barat, misalnya, tetap berdiri tegak dan selamat dari gempa walau puluhan kali gempa terjadi setiap bulannya. Hal ini terjadi karena arsitekturnya salah satunya mempertimbangkan keamanan dari gempa. Sama halnya dengan rumah gadang, rumah-rumah khas kabupaten/kota lainnya di Sumatera Barat, dan juga di provinsi lain di Indonesia, yang umumnya terbuat dari kayu, juga relatif aman dari ancaman gempa bumi. Sementara itu, rumah-rumah permanen yang berarsitektur masa kini dan modern hampir selalu mengalami kerusakan, setiap kali gempa bumi terjadi.


Karena tidak didesain tahan dan aman dari gempa, makanya bencana gempa bumi menelan korban jiwa dan harta yang tidak sedikit. Begitu juga jika banjir terjadi, banyak warga mengalami kerugian harta benda dan kehilangan anggota keluarga. Padahal, dulunya, nenek moyang Indonesia melalui kearifan budaya sudah mempertimbangkan faktor bencana ini dalam desain rumahnya. Makanya, di daerah rawan banjir atau daerah genangan air, rawa, lebak, dan pinggiran bantaran sungai, rumah-rumah panggung hampir selalu mendominasi.

“Solusi Banjir, Gempa dan cadangan air tanah”


“Tren arsitektur” biasanya dijadikan patokan bagi perkembangan property masa depan. Konteks ini kadang dicerna masyarakat awam sebagai langkah awal untuk menjatuhkan pilihannya terhadap model property yang sesuai dengan harapannya. Alasan mengapa bangunan dinyatakan menganut suatu tren gaya tertentu kadang dianggap jelas sebagai titik penentuan sikap sang penganutnya. Konteks ini kadang tidak serta merta dipahami secara mendalam oleh pemakainya sendiri, sebab yang ia pahami adalah mengikuti tren. Hal ini wajar karena yang namanya ’tren” memiliki sisi-sisi subjektif, Tren Arsitektur Minimalis yang pada beberapa tahun lalu sempat booming bahkan eforia model bagi properti baru. Namun seiring dengan perubahan jaman dimana isi-isu telah beralih dari esensi fungsi ke isu humanisme dan lingkungan hidup, apakah tren minimalis masih laris manis di 2013?



Mungkin saja tren minimalis masih disukai di masyarakat, namun perlu dipertimbangkan agar bangunan minimalis bisa beradaptasi dengan kondisi iklim yang kini sedang hangat di perbincangkan . Konsep rumah panggung yang kali ini di angkat menawarkan keramahan terhadap alam karena bangnan ini memiliki area resapan air lebih dari 90%. Barangkali, ini bukan model rumah bergaya modern minimalis pertama di Indonesia yang diberi sentuhan gaya arsitektur panggung, yang mana bangunan ini mampu menyerap lebih banyak air pada saat hujan dan sekaligus memberikan cadangan air tanah yang cukup banyak.



Kondisi air tanah di Kota Bandung sangat memprihatinkan. Hal itu disebabkan buruknya penyerapan air tanah akibat kerusakan lingkungan dan tingginya penyedotan air tanah. Jawa Barat diperkirakan hanya memiliki cadangan air 8 miliar meter kubik pada musim kemarau. Padahal, pada musim hujan, air yang mengalir di Jabar diperkirakan 81 miliar meter kubik. Artinya, 73 miliar meter kubik air hujan terbuang karena lingkungan yang rusak tak mampu menyimpan air. Minimnya persediaan air tanah itu membuat Jabar kerap kekeringan saat musim kemarau. Tapi, saat musim hujan, peresapan air yang buruk membuat beberapa daerah di Jabar menjadi langganan banjir.

 



Solusi paling sederhana akan permasalahan ini adalah desain arsitektur yang ramah lingkungan, sediakan sumur resapan, perbanyak ruang terbuka yang mampu menyerap air hujan, pertahankan pohon yang ada di sekitar site dan yang tak kalah pentingnya pergunakan air dengan bijak. Area yang memang terpaksa harus menggunakan perkerasan pun bisa di di rencanakan agar mampu menyerap air lebih banyak dengan desain yang menarik.




Load disqus comments

0 comments