Arsitektur berkelanjutan (sustainable architecture) belakangan sedang marak menjadi wacana hampir di segala bidang. Kesadaran dunia akan pentingnya hal tersebut semakin menjadi perhatian utama.
Belum lama ini dunia dihentakkan dengan munculnya sebuah film yang mengangkat isu pemanasan global, kondisi sebenarnya yang akan kita hadapi kelak jika tidak perduli dan berbuat sesuatu terhadap bumi kita; Unconvenienth Truth!
Terlepas dari propaganda heroik khas Amerika dan perdebatan politis akan makna ide pembuatannya, paling tidak film ini dapat memberikan satu pandangan bagaimana kita harus bersikap kedepan terhadap bumi kita, tidak hanya tinggal diam!.
Ada banyak gagasan yang berkembangan dihampir semua proyek yang dilahirkan oleh arsitek yang baik dengan penekanan yang berbeda-beda. Mulai dari isu arsitektur ramah lingkungan, bangunan yang efisien, ruang yang fleksibel, arsitektur hijau, otomatisasi hingga pemikiran radikal mengenai wacana bagaimana rancangan bangunan masa datang mulai dari skala kecil seperti rumah tinggal hingga skala kota seperti Zero Carbon City karya LordNorman Foster, sebuah mimpi akan kota masa depan yang tidak memiliki emisi gas buang CO2, menjadikan panel surya sebagai sumber energi listrik serta konsep pelayanan transportasi masal yang berwawasan lingkungan.
Gagasan dan pemikiran tersebut sebenarnya bukanlah merupakan hal baru, kesadaran akan pentingnya inovasi yang bersahabat dengan alam telah disadari oleh banyak arsitek besar dari masa lampau.
Menjadi cerdas dalam arsitektur itu sendiri sebetulnya harus dapat menjawab banyak aspek didalamnya, tidak hanya melulu masalah sustainability. Arsitektur harus dapat bekerja melayani penggunanya (lifestyle), berinteraksi dengan site, serta menawarkan kelebihan jika dibandingkan terhadap rancangan umumnya seperti utilisasi ruang yang maksimal, ruang yang fleksibel, biaya yang efektif dan lain sebagainya.
Solusi integral adalah kata kunci dalam rancangan cerdas, ketika bangunan analitis dan responsif terhadap site digabungkan dengan rancangan yang memiliki atensi terhadap detail, berwawasan lingkungan, hemat energi, memiliki tingkat efisiensi yang tinggi, penggunaan material-material cerdas serta utilisasi material tersebut, bersinergi menjadi sebuah rancangan yang berbeda, tidak medioker!.
Selalu mempertanyakan urgensi dari ruang, mendekonstruksi hal yang sudah dianggap baku dalam suatu rancangan, menantang bahan sehingga dapat memberikan nilai lebih dalam suatu rancangan merupakan suatu cara piker yang harus dicoba terapkan oleh arsitek kedepan.
Otomatisasi tentu akan memberikan manfaat lebih jika diaplikasikan dengan tepat sesuai kebutuhan. Sesuai ide awalnya otomatisasi diharapkan dapat membantu memberikan kenyamanan yang lebih pada pengguna arsitektur itu sendiri, memenuhi gaya hidup (lifestyle) kini yang menuntut tingkat kepraktisan yang tinggi. Namun yang harus disadari otomatisasi itu merupakan instrument yang memiliki limitasi waktu penggunaannya, serta tidak aplikatif kepada semua pengguna (user friendly). Hari ini instrumen otomatisasi tersebut terasa begitu canggih bagi kita namun belum tentu dalam beberapa waktu ke depan seiring perkembangan industri otomatisasi yang begitu pesat belum lagi kekhawatiran akan malfunction dari sistem tersebut.
Tengok pada tahun 1927 Buckminster Fuller menelurkan gagasan Dymaxion House , karya ini mengedepankan ide penghematan energi dalam bangunan, penggunaan bahan industri sebagai pengganti bahan alam juga menjadi pemikiran yang cemerlang pada jamannya. Jean Prouves House, 1958 yang mengusung tema modular system disamping bersahabat dengan alam, serta efisiensi pembangunan.
Reichstag di Berlin, 1995, berhasil menggunakan panas bumi menjadi selah satu elemen pengkondisian penghawaan bangunan, menggunakan vegetable petroleum yang dibakar didalam cogenerator untuk menghasilkan listik sehingga dapat mereduksi 94% CO2. Disamping menghadirkan kecanggihan desain ala Foster berupa penggabungan otomatisasi, refleksi dalam konsep penerangan dan penghawaan bangunan serta desain yang fantastis hamper diseluruh detailnya.
Ken Yeang dengan Mesniaga Tower pada tahun 1992, dianggap sebagai penggagas Bioclimatic Skyscraper, bangunan tinggi dengan konsumsi energy yang rendah didesain berdasarkan lingkungan bioklimatik-nya. Serta kembalinya kesadaran akan pentingnya double skin facade dalam rancangan bangunan kini.
Rancangan cerdas
Memanfaatkan potensi alam dan iklim melalui pendekatan pasif desain merupakan cara yang berkelanjutan (sustainable) untuk tujuan penghematan energi bangunan serta menghindari faktor alam yang dapat mengurangi kenyamanan bangunan.
Analisa terhadap tapak serta respon desain dalam rancangan merupakan hal yang utama, perletakkan masa bagunan, arah bukaan, konfigurasi perletakkan ruang, model sistem penghawaan menjadi elemen yang penting dalam desain selain ekplorasi estetis.
Penerapan Teknologi untuk mengatasi masalah site harus disadari sebagai nilai tambah. Semisal penggunaan Panel Surya PV (photovoltaic), reflektor cahaya, turbin angin, dan komputerisasi
0 comments