Faktor Penyebab
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya bencana kelangkaan sumber daya air, selain perubahan iklim yang cukup ekstrem. Penyebab utamanya adalah eksploitasi besar-besaran air tanah yang tidak hanya mengakibatkan terjadinya kelangkaan air, tetapi juga mengakibatkan penurunan permukaan tanah (landsubsidence) terhadap permukaan air laut. Jakarta dan Semarang yang posisinya dekat laut, merupakan dua contoh perkotaan yang posisinya semakin rendah daripada permukaan laut sehingga kota ini senantiasa dihadapkan pada ancaman bencana banjir dan kelangkaan air, terutama air besih.
Terhadap isu kelangkaan air ini, pemerintah Indonesia terkesan memarginalkannya karena lebih fokus pada penanganan dan penanggulangan banjir, sementara masyarakat dunia senantiasa memperhatikan akan pentingnya isu kelangkaan air. Ini disebabkan jumlah penduduk dunia yang terus meningkat, sementara stok sumber daya air semakin berkurang.
Dengan tidak bermaksud menyalahkan negara-negara berkembang, tekanan paling berat terhadap sumber daya air akan terjadi di kelompok negara ini karena masih tingginya laju kelahiran yang diperkirakan 2,1 % per tahun. Lebih khusus lagi, tekanan masyarakat di perkotaan tidak kalah mengkhawatirkan karena laju pertumbuhan penduduknya mencapai 3,5 % per tahun (Middleton, 1992).
Ketidakseimbangan jumlah penduduk dan ketersediaan air dikhawatirkan akan memunculkan konflik baru yang dapat meluas secara global pada abad ini. Hal tersebut mengingat sumber daya air tidak ada substitusinya sebagaimana bahan bakar minyak. Selain itu, kekhawatiran global terhadap kelangkaan air juga karena adanya prediksi Gardner-Outlaw and Engelman (1997) yang disitir PBB (2003), bahwa pada tahun 2050 diperkirakan 1 dari 4 orang akan terkena dampak dari kekurangan air bersih.
Sementara itu, dalam konteks Indonesia, meskipun cadangan airnya mencapai 2.530 km3/tahun yang termasuk dalam salah satu negara yang memiliki cadangan air terkaya di dunia, isu kelangkaan air harus menjadi perhatian serius khususnya di wilayah perkotaan. Mengingat pada musim kemarau keadaan terlihat sangat kontras jika dibandingkan pada musim penghujan. Pada musim penghujan, wilayah perkotaan biasanya akan mengalami musim banjir dan pada musim kemarau akan mengalami kelangkaan air yang sangat parah.
Jakarta merupakan salah satu contoh kawasan perkotaan yang setiap musim kemarau selalu dihadapkan pada keadaan langkanya air bersih. Tingginya pertumbuhan penduduk, termasuk di dalamnya tingginya tingkat urbanisasi, menuntut besarnya penyediaan air terutama air bersih untuk konsumsi masyarakat perkotaan. Sementara Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) DKI Jakarta hanya mampu menyuplai kurang dari 50 % air besih untuk warganya.
Ironisnya, di tengah ancaman kelangkaan air tersebut, potensi air hujan di Jakarta yang rata-rata mencapai 2.000 juta m3/tahun tidak teresap dengan optimal karena hanya 26,6 % saja yang terserap ke dalam tanah dan sisanya 73,4 % terbuang sia-sia ke laut. Tentu saja keadaan ini tidak hanya berlaku di Jakarta, namun juga di kawasan perkotaan lainnya di Indonesia. Rendahnya resapan air di kawasan perkotaan umumnya disebabkan pesatnya pembangunan yang tidak disertai dengan kepatuhan berbagai pihak dalam menaati peraturan-peraturan yang telah ditetapkan (Akhmad Solihin, 2010).
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan, ada dua hal yang sangat penting yang menyebabkan kelangkaan air di wilayah perkotaan. Pertama, eksploitasi secara besar-besaran terhadap air tanah yang dilakukan oleh gedung-gedung perkantoran, rumah sakit, pusat perbelanjaan, apartemen, hotel, pengusaha laundry, dan bangunan tinggi lainnya. Kedua, pembangunan gedung-gedung yang tidak mematuhi perbandingan lahan yang terpakai dan lahan terbuka, sehingga mengganggu proses penyerapan air hujan ke dalam tanah.
Kedua hal tersebut jelas mengganggu kelestarian air tanah yang sangat rentan, sebagaimana yang tertuang pada Pasal 37 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang menyebutkan bahwa air tanah merupakan salah satu sumber daya air yang keberadaannya terbatas dan kerusakannya dapat mengakibatkan dampak yang luas serta pemulihannya sulit dilakukan.
Dengan demikian, penyedotan air tanah di satu sisi dan terganggunya proses peresapan air hujan lain merupakan masalah klasik yang senantiasa akan dihadapi pemerintah dalam memberikan pelayanan penyediaan air bersih. Hal ini diperparah dengan lemahnya PDAM dalam menyalurkan air bersih sehingga penyedotan air tanah pun tidak terelakkan dalam rangka memenuhi kebutuhan air tersebut.
Solusi
Permasalahan kelangkaan air yang cukup kompleks ini seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah. Cara-cara lama dalam pengelolaan yang dilakukan secara parsial berdasarkan tugas pokok dan fungsi setiap lembaga terbukti tidak mampu mengatasi permasalaham ini. Ke depan, selain harus terintegrasi antar lembaga pemerintah, penanganan sumber daya air juga harus melibatkan stakeholder, khususnya mereka yang menggunakan air tanah.
Ada beberapa upaya yang bisa dilakukan pemerintah, di antaranya:
(1) Pengaturan pemanfaatan air tanah yang disertai dengan pengawasan yang ketat, misalnya mengawasi penggunaan air tanah oleh perusahaan cuci kendaraan, agar penggunaannya tidak jor-joran dan melebihi kapasitas;
(2) Pemberian surat IMB (Izin Mendirikan Bangunan) harus disertai kewajiban penyediaan lahan terbuka yang diperuntukkan bagi penyerapan air hujan ke dalam tanah;
(3) Kewajiban memperbaiki kualitas dan mengembalikan tata guna air sesuai pemanfaaatan sebagaimana yang telah dimanfaatkan oleh setiap pengguna air;
(4) Setiap bangunan harus diwajibkan membuat sumur resapan sehingga dapat meningkatkan cadangan air tanah, yang manfaatnya akan sangat dirasakan jika terjadi musim kemarau yang berkepanjangan;
(5) Mewajibkan setiap pemilik bangunan untuk menyediakan lahan untuk menanam pohon yang dimaksudkan untuk menyimpan sebagian air resapan, selain tentunya untuk menyerap polusi udara dan memberi keteduhan.
(6) Memberdayakan partisipasi masyarakat perkotaan untuk dapat bertindak secara bijak dalam hal pemanfaatan air tanah untuk keperluan yang penting saja.
Dalam konteks ketersediaan cadangan air tanah, tampaknya pembangunan sumur resapan merupakan kebutuhan mendesak bagi segenap warga perkotaan, baik di kota besar maupun di kota kecil. Waryono (2002) dalam sebuah penelitiannya menyimpulkan bahwa setiap sumur resapan akan mampu meneruskan air hujan ke dalam tanah sebanyak 40 drum/tahun atau 8 m3/tahun. Dalam hal ini, beberapa Perda di Indonesia telah mengaturnya secara jelas. Khusus untuk Jakarta, optimalisasi penampungan air hujan di bawah tanah telah diatur Pemerintah DKI Jakarta melalui Perda Nomor 68 Tahun 2003. Namun, potensi pemulihan air tanah secara buatan di Jakarta masih sangat rendah.
Adalah merupakan kebutuhan vital dan mendesak bagi setiap individu manusia akan tersedianya air bersih, terlebih bagi warga perkotaan yang dihadapkan pada ancaman kelangkaan air akibat ketidakseimbangan pembangunan. Untuk mewujudkan kelestarian sumber daya air, diperlukan kebijakan yang terintegrasi, baik dari aspek stakehol der maupun pendekatan pengelolaan. Karena cara dan proses pendayagunaan sumber daya air didasarkan keterkaitan air hujan, air permukaan, dan air tanah dengan pendayagunaan air permukaan sebagai langkah utama. Karenanya, sangat diharapkan perhatian yang sangat serius dari pemerintah dalam upaya mengatasi kelangkaan air di wilayah perkotaan, terutama pada musim kemarau seperti saat ini.